Minggu, 19 Juli 2015

Pahlawan wanita indonesia yang terlupakan oleh sejarah

Laksamana Keumalahayati 


Malahayati, adalah salah seorang perempuan pejuang yang berasal dari Kesultanan Aceh. Nama aslinya adalah Keumalahayati. Ayah Keumalahayati bernama Laksamana Mahmud Syah. Kakeknya dari garis ayahnya adalah Laksamana Muhammad Said Syah putra dari Sultan Salahuddin Syah yang memerintah sekitar tahun 1530-1539 M. Adapun Sultan Salahuddin Syah adalah putra dari Sultan Ibrahim Ali Mughayat Syah (1513-1530 M), yang merupakan pendiri Kerajaan Aceh Darussalam.[1]
Pada tahun 1585-1604, memegang jabatan Kepala Barisan Pengawal Istana Panglima Rahasia dan Panglima Protokol Pemerintah dari Sultan Saidil Mukammil Alauddin Riayat Syah IV.[2]
Malahayati memimpin 2.000 orang pasukan Inong Balee (janda-janda pahlawan yang telah tewas) berperang melawan kapal-kapal dan benteng-benteng Belanda tanggal 11 September 1599 sekaligus membunuh Cornelis de Houtman dalam pertempuran satu lawan satu di geladak kapal, dan mendapat gelar Laksamana untuk keberaniannya ini, sehingga ia kemudian lebih dikenal dengan nama Laksamana Malahayati[3]


Rahmah El Yunusiyyah, Mujahidah tanpa Emansipasi




Rahmah El Yunusiyah lahir pada tanggal 1 Rajab 1318 Hijriyah atau 20 Desember 1900. Bukit Surungan, Padang Panjang menjadi saksi bahwa dari sanalah calon Mujahidah lahir dan tumbuh. Anak bungsu dari lima bersaudara ini terlahir dari seorang Ayah yang bekerja sebagai Hakim dan ahli Ilmu Falak (astronomi) bernama Muhammad Yunus bin Imanuddin dengan seorang ibu bernama Rafi’ah.
Rahmah kecil telah mendapat pendidikan formal sekolah dasar selama tiga tahun di kota kelahirannya, Padang Panjang. Saat ia berusia 15 tahun, pendidikan bahasa Arab dan Latin ia dapatkan dari Diniyah School (1915) dan dari kedua kakaknya, Zaenuddin Labay dan Muhammad Rasyid. Setiap sore, Rahmah remaja rutin mengaji pada Haji Abdul Karim Amrullah yang merupakan ayah dari Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau HAMKA di surau Jembatan Besi, Padang Panjang.
Saat berumur 23 tahun, Rahmah nampak sempurna dan begitu istimewa untuk ukuran perempuan seusianya. Keinginan besarnya untuk memajukan keilmuan kaumnya dan mengeluarkan kaumnya dari kebodohan begitu bergelora. Karena bagi Rahmah sendiri, perempuan memiliki peran yang penting dalam kehidupan, utamanya dalam rumah tangga. Karena rumah tangga adalah bagian dari tiang masyarakat dan masyarakat adalah tiang negara. Tentulah ia tidak mau, kaumnya yang mempunyai peran penting dalam tiang negara dan pendidikan anak-anaknya tertinggal dari laki-laki.
Akhirnya pada tanggal 01 November 1923, Rahmah dengan dukungan dari kakaknya, Zaenuddin Labay dan teman-teman perempuannya di PMDS (Persatuan Murid-murid Diniyyah School) memutuskan untuk mendirikan sekolah khusus Perempuan yang dinamai Diniyah School Putri atau Madrasah Diniyah li al-Banat yang bertempat di Masjid Pasar Usang.
Saat itu, muridnya masih berjumlah 71 orang dan terdiri dari ibu-ibu muda, termasuk putri dari Teungku Panglima Polim dan Hajjah Rangkayo Rasuna Said. Pelajaran yang ajarkan yaitu ilmu agama dan tata bahasa Arab, namun belakangan sekolah ini menerapkan pendidikan modern dengan menggabungkan pendidikan agama, pendidikan sekuler dan pendidikan keterampilan.
“Diniyah School Puteri ini selalu akan mengikhtiarkan penerangan agama dan meluaskan kemajuannya kepada perempuan-perempuan yang selama ini susah mendapatkan penerangan agama Islam dengan secukupnya daripada kaum Lelaki…, Inilah yang menyebabkan terjauhnya penerangan perempuan Islam daripada penerangan agamanya sehingga menjadikan kaum perempuan itu rendam karam ke dalam kejahilan”, kata Rahmah.
Tiga tahun kemudian, gempa hebat mengguncang Sumatera Barat pada tahun 1926, bangunan sekolah dan asrama yang baru ia rintis luluh lantak, meski begitu Rahmah tidak menangis, Rahmah langsung bangkit kembali. Dengan susah payah, ia membangun kembali sekolahnya dengan batangan bambu dua lantai berukuran 12×7 m2 dan menghimpun kembali para muridnya.
Namun, rupanya hal itu tidak cukup, bersama pamannya ia menjelajahi Aceh, Sumatera Utara hingga menyebrangi selat malaka untuk mencari bantuan dana ke Malaysia. Ternyata usahanya tidak sia-sia, Rahmah berhasil mengumpulkan dana yang cukup besar, yaitu sekitar 1569 gulden.
Kiprahnya dalam memajukan pendidikan bagi perempuan, tidak hanya membangun Diniyyah Putri School, tapi Rahmah juga mempelopori sekolah khusus perempuan.

Pada tahun 1955, Rektor Universitas Al Azhar Kairo, Syaikh Abdurrahman Taj berkunjung ke Diniyyah Putri School, ia tertarik dengan sistem pembelajaran khusus yang ada di sekolah tersebut. Dari sana, ia menimba pengalaman dari sekolah yang didirikan oleh Rahmah. Tidak lama setelah kunjungan tersebut, kampus Islam tertua di dunia itu membuka pendidikan khusus Perempuan yang bernama kulliyyât al-banât. Waktu itu memang, Al Azhar belum memiliki sekolah pendidikan khusus perempuan.
Dari rektor Al Azhar ini pula, pada tahun 1957, Rahmah mendapat gelar Syaikhah, gelar istimewa yang diberikan hanya untuk orang-orang yang ahli dalam bidang tertentu dan menguasai khazanah ilmu-ilmu keislaman. Gelar tersebut setara dengan gelar Syaikh Mahmoud Shaltout, yang merupakan mantan Rektor Al Azhar.
Menolak Kesetaraan Gender
Pada saat Rahmah masih hidup, gelombang dan wacana tentang emansipasi dan kesetaraan gender di Barat masih terus berlanjut. Meski demikian hal ini tidak mempengaruhi sikap dan pemikirannya, ia tetap pada fitrahnya sebagai perempuan. Cicit atau keturunan keempat Rahmah, Fauziah Fauzan El Muhammady pun mengakui hal ini.
“Apa pandangan Bunda Rahmah terhadap emansipasi wanita? Mengacu pada surat an-Nahl ayat 97 bahwa barangsiapa mengerjakan kebajikan, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka pasti akan kami berikan kepadanya kehidupan yang baik. Jadi bunda Rahmah menganggap tidak ada lagi emansipasi wanita karena Islam sudah memberikan porsi”, kata Fauziah Fauzan, pemimpin Perguruan Diniyyah Putri Padang Panjang.
Meski menentang pembatasan mencari ilmu bagi perempuan, namun Rahmah tidak serta merta menjadi seorang Feminis, hal ini terlihat saat Rahmah mengikuti kongres Kaum Perempuan di Batavia pada tahun 1935, ia mewakili kaum ibu Sumatera Tengah.
Dalam kongres tersebut ia memperjuangkan pemakaian busana perempuan Indonesia yang hendaknya memakai kerudung. Selain itu, dalam kongres tersebut, ia juga berusaha memberikan ciri khas budaya Islam ke dalam kebudayaan Indonesia.

Mujahidah Sejati
Jati dirinya sebagai mujahidah sejati, tetap ia buktikan saat menentang pemerintah Jepang yang kala itu masih menjajah Indonesia, ia dan temannya mendirikan organisasi sosial politik seperti ADI (Anggota Daerah Ibu) Sumatera Tengah, tujuannya untuk menentang pengerahan kaum perempuan Indonesia terutama di Sumatera Tengah sebagai jugun ianfu (perempuan penghibur) tentara Jepang.
Kelompok ini menuntut pemerintah Jepang agar menutup rumah kuning (istilah untuk prostitusi waktu itu) karena tidak sesuai dengan kebudayaan dan agama yang dipeluk oleh bangsa Indonesia. Ternyata tuntutan itu berhasil. Perempuan Indonesia tidak lagi menjadi budak pemuas nafsu seks tentara Jepang. Sebagai gantinya, Jepang mendatangkan perempuan-perempuan dari Singapura dan Korea.
Begitu pun saat masa pemerintahan Soekarno, Rahmah berani dan rela dikucilkan Soekarno, karena menentang kedekatan antara presiden Indonesia pertama ini dengan Komunis. Meski dicap sebagai pemberontak oleh pemerintah pusat saat itu karena bergabung dengan PRRI/PERMESTA, namun Rahmah tidak perduli dan menerima kebencian Soekarno pada dirinya dengan lapang dada.
Tidak cukup berhenti sampai di situ, pada tanggal 12 Oktober 1945, Rahmah mempelopori berdirinya TKR (Tentara Keamanan Rakyat) yang anggotanya berasal dari Gyu Gun Ko En Kai atau Laskar Rakyat. Dapur asrama dan harta miliknya direlakan untuk pembinaan TKR yang rata-rata masih muda usia. Ia tidak hanya terkait dengan BKR, TKR, TRI (kemudian berubah jadi TNI), tetapi juga mengayomi barisan pejuang yang dibentuk organisasi Islam seperti laskar Sabilillah, laskar Hizbullah dan lain-lain. Karena sifatnya yang mengayomi, pemuda-pemuda pejuang kemerdekaan menyebutnya sebagai Bundo Kanduang dari barisan perjuangan.
Pada tahun 1952-1954, Rahmah menjadi anggota Dewan Pimpinan Pusat Masyumi di
Jakarta dan terpilih sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat Sementara untuk periode tahun 1955-1958.

Rahmah menghembuskan nafas terakhirnya pada malam Idul Adha, tanggal 26 Februari 1969. Setidaknya ia telah memberikan kita, kaum perempuan, banyak pelajaran, bahwa menjadi pejuang, menjadi seorang Mujahidah, tidak perlu sampai mengorbankan kewajiban kita sebagai Ibu dan Wanita. Cukuplah Khadijah, Aisyah, Khansa dan Rahmah El Yunusiyah sebagai contoh kita bahwa betapa mulianya tugas kita di hadapan-Nya.
 

Gusti Zaleha


Gusti Zaleha adalah perempuan perkasa yang patut di ketahui dan patut dikenang sebagai pahlawan perempuan yang gigih memperjuangkan tanah Banjar dari tangan besi penjajah Belanda.
Gusti Zaleha putri dari Sultan Muhammad Seman, cucu dari Pangeran Antasari. Lahir di Lembah Sungai Barito, Muara Lawung,tahun 1880. Di masa anak-anak ia telah merasakan pahit getirnya perjuangan bersama ayahnya dan kakeknya melawan penjajah Belanda. Meninggalnya kakeknya Pangeran Antasari karena sakit, dia sangat kehilangan sekali kakeknya yang selalu mendidiknya agar perempuan Banjar berjiwa patriot dengan semboyan “Waja Sampai Kaputing”. Ketika mulai berangkat dewasa, dia bersama ayahnya terus gencar mengusir penjajah dan selalu diuber-uber Belanda sampai masuk hutan ke luar hutan.
Sebelum ayahnya meninggal Gusti Zaleha sempat diberi cincin kerajaan dari ayahnya. Sejak itu dia menggantikan ayahnya sebagai Sultan dan Pemimpin Perang Tertinggi kemudian diberi gelar Ratu Zaleha. Bersama suaminya Gusti Muhammad Arsyad terus melanjutkan perjuangan ayahnya. Gusti Muhammad Arsyad adalah saudara sepupunya putra dari pamannya Gusti Muhammad Said. Semasa ayahnya masih hidup, suaminya adalah panglima perang yang sangat dihandalkan ayahnya, dimana bersama suaminya pada tahun 1901 memporak porandakan penyerangan Belanda di daerah Barito.
Ratu Zaleha dapat menghimpun kekuatan dari suku – suku Dayak Dusun, Kenyah,Ngaju,Kayan,Siang,Bakumpai,Suku Banjar bersama seorang wanita pemuka Dayak Kenyah bernama Bulan Jihad seorang perempuan yang sangat pemberani yang selalu bahu membahu di medan pertempuran.
Selama masa perjuangan fisik Ratu Zaleha bersama Bulan Jihad (masuk Islam) tidak ketinggalan memberikan pelajaran baca tulis (Arab Melayu) dan ajaran agama Islam kepada anak-anak Banjar serta memberikan penyuluhan kepada perempuan – perempuan Banjar tentang peranan perempuan,ajaran agama Islam dan ilmu pengetahuan.
Ratu Zaleha sangat murka manakala suami dan pasukannya dilumpuhkan Belanda. Suaminya ditangkap lalu diasingkan ke Bogor pada 1904. Tetapi ia tidak pernah kenal surut dan terus mengadakan perlawanan yang tinggi mempertahankan Benteng Manawing dan Tambang Batu Bara Oranje Nassau atas gempuran Belanda yang lengkap alat persenjataannya.
Ratu Zaleha dianggap macan wanita yang tidak mau tunduk kepada Belanda. Perang berjalan 5 tahun. Tetapi kondisi fisik Ratu Zaleha mulai menurun karena kelelahan dan pasukannya juga satu persatu gugur dalam suatu pertempuran yang sangat tidak berimbang. Pada bulan Juni 1905, pasukan Ratu Zaleha dilumpuhkan dan dia ditanggkap kemudian bersama ibunya Nyai Salmah diasingkan ke Bogor bersama-sama suaminya Gusti Muhammad Arsyad.
Setelah tertawannya Ratu Zaleha maka berakhirlah “Perang Banjar” yang dimulai tahun 1859. Dan Belanda dengan leluasa menjajah di bumi Kalimantan ini.
Selama 31 tahun Ratu Zaleha bersama keluarganya dipengasingan kemudian diizinkan kembali ke Banjarmasin,1937. Dan pada tanggal 24 September 1953 Ratu Zaleha berpulang kerahmatullah, di makamkan dikomplek MakamRaja-Raja Banjar di Banjarmasin.
Pada tanggal 11 Januari 1954 Bulan Jihad turun dari gunung setelah 49 tahun mengasingkan diri. Dia sangat sedih setelah 4 bulan baru tahu Ratu Zaleha sahabatnya mendahuluinya.
Walaupun Ratu Zaleha telah tiada namun harum namanya tak pernah sirna di hati rakyat Kalimantan. Ratu Zaleha menjadi simbol emansipati waniti Banjar, juga namanya diabadikan sebagai nama Rumah Sakit Umum di Martapura Kabupaten Banjar Kalsel.


Dewi Sartika (1884-1947) Jawa barat
Wanita ini berhasil mendirikan sekolah yang dinamakan Sakolah Kautamaan Istri (1910) yang berdiri di berbagai tempat di Bandung dan luar Bandung.


Rohana Kudus (1884-1972) padang



Wanita ini melakukan hal yang sama di kampung halamannya. Selain mendirikan Sekolah Kerajinan Amal Setia (1911) dan Rohana School (1916), Rohana Kudus bahkan menjadi jurnalis sejak di Koto Gadang sampai saat ia mengungsi ke Medan. Ia tercatat sebagai jurnalis wanita pertama di negeri ini. Rohana menyebarkan idenya secara langsung melalui koran-koran yang ia terbitkan sendiri sejak dari Sunting Melayu (Koto Gadang, 1912), Wanita Bergerak (Padang), Radio (padang), hingga Cahaya Sumatera (Medan)


Sultanah Seri Ratu Tajul Alam Safiatuddin Johan 



Wanita ini dikenal sebagai sosok yang sangat pintar dan aktif mengembangkan ilmu pengatetahuan. Selain bahasa Aceh dan Melayu, dia menguasai bahasa Arab, Persia, Spanyol dan Urdu. Di masa pemerintahannya, ilmu dan kesusastraan berkembang pesat.

Ketika itulah lahir karya-karya besar dari Nuruddin ar-Raniry, Hamzah Fansuri, dan Abdur Rauf. Ia juga berhasil menampik usaha-usaha Belanda  untuk menempatkan diri di daerah Aceh. VOC pun tidak berhasil memperoleh monopoli atas perdagangan timah dan komoditi lainnya. Sultanah memerintah Aceh cukup lama, yaitu 1644-1675. Ia dikenal sangat memajukan pendidikan, baik untuk pria maupun untuk wanita.


Siti Aisyah We Tenriolle. 



Wanita ini bukan hanya dikenal ahli dalam pemerintahan, tetapi juga mahir dalam kesusastraan. B.F. Matthes, orang Belanda yang ahli sejarah Sulawesi Selatan, mengaku mendapat manfaat besar dari sebuah epos La-Galigo, yang mencakup lebih dari 7.000 halaman folio. Ikhtisar epos besar itu dibuat sendiri oleh We Tenriolle. Pada tahun 1908, wanita ini mendirikan sekolah pertama di Tanette, tempat pendidikan modern pertama yang dibuka baik untuk anak-anak pria maupun untuk wanita.

Tidak ada komentar: